Negeriku Minangkabau
TERHAMPAR di sepanjang bibir Samudera Hindia nan biru. Dihiasi sejuta nyiur melambai. Di jajaran Bukit Barisan yang rimbun menghijau, dengan puncak-puncak gunung menjulang ke angkasa, dengan air jernih jatuh di bebatuan, memercik ke udara, bersinar ditimpa matahari, laksana intan bertaburan. Sawah berjenjang-jenjang bak tangga istana, menguning dimusim panen. Di perkampungan nagari yang bersuku dan beradat, gonjong-gonjong rumah gadang, seperti busur-busur panah berlomba menggapai langit, menjadi spirit kehidupan untuk selalu menjadi terdepan.
Di tengah-tengah komunitas adat yang beradat itu, selalu ada masjid dan surau, menjaga jiwa nagari yang saleh dan tunduk patuh kepada sang khalik.Kehidupan spiritual yang menaungi jiwa itu, adalah rujukan atas segala kebebasan dunia agar tak liar, menjadi furqan terhadap salah dan benar agar tak jatuh pada dosa dan candu hingga alur dan patut tegak berdiri menjaga nagari. Indahnya nagariku. Laksana sorga sesungguhnya.
Tahun bertukar, musim berganti, (seperti syair ditulis Dr. Agus Taher, intelektual seniman itu yang didendangkan oleh alm Zalmon dengan mendayu -dayu), serbuan teknologi informasi melanda jagat raya, temasuk nagariku, gaya hidup baru dipertontonkan televisi dan segala jenis alat komunikasi 24 jam sehari, merasuk sampai ke saku baju. Kehidupan yang hedonis, menjadi triger untuk memacu setiap manusia mengejar materi melebihi kelayakannya. Kaki Jadi kepala dan kepala jadi kaki. Waktu 24 terasa singkat untuk mendapatkan uang lebih banyak.
Gempuran perubahan itu terus berhadapan langsung dengan tatanan sosial nagariku yang dulu kokoh memegang nilai adat bersandi sarak. Akan kah Minangkabau akan kalah ? Akankah cupak diganti urang manggaleh dan jalan dialiah urang lalu? Atau di permukaan Minangkabau tetap ada, tapi secara substansial sudah berubah? Seperti disindir dalam pantun, disangko bulek si daun nipah, kironyo bulek bapasagi, diliek lipek indak barubah, kironyo lah tabuak tiok ragi.
Rasanya mustahil bila masyarakat tak berubah, karena Minangkabau yang
kita kenal itu juga hasil perubahan dari kondisi sebelumnya yang
mungkin tak beradat dan animisme.
Kajian ini akan panjang dan berlarut larut larut. Dimensinya sangat beragam, sudut pandang juga akan sangat banyak. Tapi, saya terlanjur bangga dengan Minangkabau yang saya kenal, saya
telalu sayang dengan Minangkabau yang saya hidup di dalamnya, saya
terlalu bahagia dengan alamnya, dengan kehidupan sosialnya, dengan
pergaulannya, dengan tata kramanya, dengan tali temali hubungan
kekerabatannya, dengan pergaulannya, dengan baso basinya, dengan
tradisinya, dengan kulinernya dan dengan banyak hal lain yang tak
tertuliskan semuanya.
Malam-malam menjelang mata terpejam, kadang datang rindu mendengar
“galitiak” saluang, cerita “kaba pasisia” yang serasa menghanyutkan
jiwa. Semua mengingatkan saya tentang masa-masa kecil yang indah dan damai. Terbayang tapian tampek mandi, hamparan sawah saat manggaro, mairiak padi, berlarian dengan teman di sepanjang pematang, saat-saat mengaji di surau atau mandi-mandi di sungai yang jernih. Semuanya mungkin akan menjadi masa lalu bagi saya dan sesuatu yang tak dijumpai generasi kini dan akan datang.
Itulah perubahan. Kadang membahagiakan dan kadang mengecewakan. Dan, perubahan sepertinya sesuatu kepastian. Tapi…. apakah semuanya harus berubah ? Kalau boleh meminta, janganlah……Berubahlah adat istiadat, berubahlah adat yang diadatkan dan bahkan bila saatnya memang harus berubah, berubahlah pula adat yang teradat. Tapi janganlah berubah Adat Sabana Adat. Yang diamanahkan leluhur kita yang arif bijaksano. Itulah yang tak lapuak dek hujan, tak lakang dek paneh. Dicabuik indak mati, di asak indak layua. Dan itulah Minangkabau yang sebenarnya.
Di satu sisi perubahan membawa banyak kemudahan, kemegahan, kesejahteraan ragawi, kecepatan, kenyamanan badaniyah dan banyak hal lagi. Tapi semua itu, belum menjamin kita bahagia. Kadang kemajuan membuat kita gagap. Canggung di rumah sendiri, utamanya bila kita merasa bahwa semua asing bagi kita. Dalam suasana seperti itu, mungkin kita bisa belajar dari Negara Bhutan. Negara seluas Jawa Tengah yang terletak di lereng Himalaya, antara India dan China.
Negeri kecil ini tercatat sebagai negara yang rakyatnya merasa paling bahagia di dunia. Mereka tak menolak globalisasi dan modernisasi, tapi mereka tetap memelihara tradisi. Wanita-wanitanya berpakaian adat yang sopan, halus dan ramah. Rakyatnya disadarkan agar mengingat mati lima kali sehari. Hedonisme dan golabalisme tersungkur di tanah mereka. Masyarakat tak tertarik dengan hal-hal yang bukan menjadi kepribadiannya. Mereka bahagia dengan milik sendiri. Mereka mencintai alam mereka, pemanfaatan ruang hanya boleh 40 persen, sisanya adalah pepohonan dan tumbuhan yang terjaga.
Bagaimana Minangkabau Nagariku tercinta? Saya percaya, kekuatan tradisi kita yang ditopang oleh lembaga agama dan adat serta pemerintah provinsi, kabupaten, kota akan memelihara Ranah Minang dari pengaruh buruk era kesejagatan itu. Padang mungkin tak bersinar seperti kota Pekanbaru, Palembang, Medan, Surabaya atau Batam. Itu tak apa, Padang tak apa tak punya banyak Mall, Indomart, Alfa Mart, Sevent Eleven. Tapi semua ruko dan toko adalah milik putra daerah, sehingga hasilnya tetap tak pergi ke luar. Apa gunanya banyak mall, masyarakat menjadi pembeli dan penyumbang uang buat pemiliknya, yang hasilnya dibawa terbang atau capital flight ke Singapura, Malaysia atau Jakarta. Tumbuhnya beberapa ritail lokal dengan pemilik lokal sangat membanggakan. Ini saya jual kemana-mana sebagai sebuah kebanggaan. Apa gunanya kelihatan mengkilat, tapi memiskinkan masyarakatnya.
Tumbuhnya hotel-hotel berkelas di Ranah Minang tak masalah. Tapi peruntukannya memang buat “tidur dan istirahat yang benar”, bukan untuk sarana maksiat. Betapa hebatnya bila pemilik hotel dan pemerintah daerah menjaganya bersama. Saya kira tak usah takut lengang, justru mungkin makin ramai, karena kekuatannya itu ada disitu. Ingat, ketika pertama kali Singapore Airline melarang merokok di pesawatnya, banyak yang menduga SQ akan sepi, karena perokok takkan sanggup tak merokok dalam waktu lama, tapi kemudian terbukti makin diminati. Datanglah ke Ranah Minang sebagai tujuan wisata keluarga, wisata budaya dan wisata dakwah, wisata kuliner dan wisata alam dengan lingkungannya yang asri. Segmen ini tak kalah besarnya.
Apakah saya bermimpi, bila masyarakat di Ranah Minang atau Sumatera Barat akan selamanya kokoh menjaga tradisi dalam era kesejagatan dan modernisasi yang terus bergulir? Artinya, Minangkabau yang maju pendidikannya, maju pembangunan, maju ekonominya, sejalan dan seimbang dengan kemampuannya memelihara nilai-nilai tradisi yang baik, yang bersumber dari kitabullah. Kita tak menemukan narkoba, pelacuran, pergaulan bebas, dan masyarakatnya saling menyayang, sopan, ramah, taat dan saleh serta berakhlak mulia. Kalaupun tak se-mengkilat daerah lain yang kaya, rasanya tak apa, tapi kita bangga dengan kehebatan budaya, agama dan tradisi baik yang kita punya.
Saya pecaya bahwa tulisan ini bukanlah hal baru. Orang di Ranah mungkin akan berkata, bahwa kami ini belum datang Jepang sudah Hei ho. Kami sudah berbuat sebelum yang lain memikirkan. Tapi tak apalah. Saya hanya sekedar menuliskan. Mudah-mudahan bermanfaat.
Jakarta , 10 Januari 2019
Dr. Gamawan Fauzi